Minggu, 06 November 2011

Televisi sebagai Babysitter

Menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2011
____________________________________________________________________________________________________________
Televisi Sebagai Babysitter
Oleh Ayu Bella Fauziah
Bidan Puskesmas Panaikang

Era digital pada 2010-2020 bakal melahirkan banyak kejutan. Satu di antaranya ialah segenap informasi dikemas dalam wujud elektronik. Media konvensional yang selama ini dicetak tinggal kenangan. Internet dan televisi akan menggantikan media massa cetak serta buku-buku.
Pelajar dan kaum profesional kelak merasa nyaman oleh informasi elektronik. Sebab, tersedia rupa-rupa kitab dari penulis top secara cepat serta gratis. Selain itu, teks-teks kuliah maupun artikel-artikel leluasa diunduh cuma-cuma dari internet.
Periode digital yang mulai terbit jelas menyisakan kekhawatiran. Informasi yang hilir-mudik laksana dentuman tembakan menyambar-nyambar, tentu harus diwaspadai. Maklum, internet yang memuat beragam warta kelak menyentuh semua umur.
Internet yang menjadi primadona media jelas bakal merajalela di dekade digital. Dalam mengantisipasi efek yang merugikan, maka, aneka aturan disodorkan. Undang-undang dirancang guna memerangi pornografi, perjudian, pemerasan dan pengancaman.
Dewasa ini, atensi tercurah kepada televisi. Soalnya, kotak kaca tersebut menjadi media utama sekaligus nomor satu dalam rumah. Tiada kekuatan yang dapat menghalangi acara-acara televisi bergentayangan dalam rumah. Program-program itu lalu mengharu-biru seisi rumah.
Televisi sangat dahsyat mempengaruhi kehidupan. Seorang ayah yang tengah menonton sepak bola bisa marah jika diminta memindahkan channel. Anak-anak yang sedang memelototi film kartun pasti jengkel kalau disuruh berhenti menonton. Di sisi lain, ibu-ibu bersama remaja putri begitu terpaku oleh sinetron, infotainment atau reality show.
Televisi dengan kekuatan acaranya seolah menjadi pemimpin kedua dalam rumah setelah ayah. Elemen tersebut jelas teramat riskan bagi suatu keluarga. Pasalnya, televisi secara dominan akan mempengaruhi perilaku penontonnya, khususnya anak-anak. Apalagi, bila orangtua tak berada di rumah.

Snackaholic
Di masa kini, televisi sudah terlampau jauh merangsek dalam keluarga. Fase itu makin parah karena ada orangtua yang membebaskan anaknya menonton televisi sejak kecil. Hingga, televisi ibarat pengasuh bagi anak-anak. Ketika orangtua keluar rumah, maka, anak-anak memilih duduk manis di depan televisi. Bocah-bocah tersebut tidak perlu berdiri dari tempat duduknya buat mengganti saluran yang disenangi. Sebab, remote control telah menambah kenyamanan dalam menyimak bermacam siaran televisi.
Tak ada yang dapat melarangnya untuk berhenti menonton. Apa saja program televisi leluasa mereka cerna. Padahal, balita belum layak menonton Tom and Jerry. Maklum, humor film kartun itu belum sanggup ia serap.
Pihak pengelola televisi tentu berkelit jika ada acara yang belum patut ditonton oleh anak-anak. Alasannya, stasiun televisi sudah memasang kode di sudut kiri atas perihal penonton yang mesti melihat program bersangkutan.
Ikon di sudut kiri atas jelas bukan jaminan. Apalagi, tidak ada sanksi bagi pelanggarnya. Aspek tersebut berbeda dengan bioskop. Di Amerika Serikat, misalnya, pengelola bioskop sangat taat terhadap aturan yang digariskan pemerintah. Penonton dipilah dalam kategori R (Restricted) alias terbatas serta G (General Audiences) atau segala usia. Kemudian PG-13 (Parental Guidance Needed) yang meminta adanya pengawasan orangtua.
Kesigapan orangtua penting nian lantaran televisi berdampak besar. Acara-acara televisi, umpamanya, diakui mempengaruhi perkembangan otak.
Dari berbagai pendapat psikolog, terlontar kalau pembatasan bagi anak untuk menonton bakal mendatangkan pengaruh positif. Dengan catatan yang ditonton bukan program agresif dan seksual. Waktu 30 menit sehari dianggap cukup bagi anak-anak.
Sikap malas ditengarai menghinggapi pula anak-anak yang kecanduan televisi. Efek barang elektronik itu juga diyakini mengurangi semangat serta kreativitas. Bahkan, menggiring orang menjadi pelaku konsumtivisme.
Anak-anak yang terkungkung konsumtivisme dipastikan terjerumus ke jurang snackaholic. Wabah snackaholic yaitu doyan mengunyah makanan ringan yang jauh dari kandungan gizi. Kelak, anak-anak snackaholic akan berbondong-bondong ke rumah sakit gara-gara terkena penyakit kanker, ginjal atau keropos tulang.

Adegan Vulgar
Melihat pengaruh televisi yang begitu dahsyat, maka, jalan terbaik bagi orangtua yakni menanamkan kewaspadaan kepada anak-anak. Tugas orangtua adalah memilih acara bagi anak-anak. Mereka mutlak melawan sikap otoriter-represif televisi yang dinakhodai kelompok swasta.
Sungguh aneh bila orangtua tak menegur anaknya yang masih SD saat menonton mega-sinetron. Apa yang diharap dari sinetron-sinetron sampah yang disiarkan secara berjejal? Sinetron kejar tayang yang jauh dari realitas masyarakat Indonesia tersebut hanya membodohi pemirsa. Pasti terasa sumpek menatap adegan seorang remaja putra meneteskan air mata tatkala ditinggal oleh kekasihnya. Maukah kita punya anak laki-laki cengeng yang rapuh oleh cinta?
Sinetron-sinetron berkategori sampah itu sebetulnya merusak nilai-nilai keluarga. Di samping tidak ramah anak, sinetron membodohi khalayak dengan adegan-adegan yang berlebihan. Sebagai ilustrasi, ada pembantu cantik yang bergincu merek impor, tetapi, nasibnya senantiasa apes. Sementara majikan mudanya yang berdandan norak berteriak-teriak dengan mata terbelalak.
Tak bisa dipungkiri jika rumah-rumah produksi yang meracik sinetron doyan memakai bintang-bintang manis dan tampan sebagai daya tarik. Tidak sampai di situ akal bulusnya. Mereka lantas membujuk penonton dengan hadiah puluhan juta guna menonton sinetronnya. Padahal, cerita yang disuguhkan tambal-sulam. Ajaibnya, masyarakat rela memelototinya sampai tuntas. Selain dihibur wajah cantik serta gagah, mereka pun disediakan hadiah. Ada sinetron yang malahan menjanjikan bakal menampilkan seorang pemenang kuis dalam sebuah episode.
Kalau remaja dan ibu-ibu saja dapat terbius sinetron, maka, bisa dibayangkan bagaimana nasib anak-anak. Mereka yang belum memiliki kecakapan mengolah informasi secara prima tentu lebih nista akibatnya. Dengan demikian, teramat bijak bila orangtua tak memberi contoh dengan cara membabi-buta menonton sinetron atau program-program yang menampilkan kekerasan. Menjauhkan anak dari televisi lebih layak diprioritaskan ketimbang menunggu hadiah diundi dari mega-sinetron.
Televisi tidak sepantasnya menjadi pengasuh alias babysitter bagi anak-anak. Tak ada manusia sudi putra-putrinya menjadi “anak TV”. Pasalnya, “anak TV” identik dengan perilaku negatif sebagaimana adegan-adegan vulgar televisi.
Sarana elektronik bernama televisi tidak punya emosi guna mengasuh anak-anak. Alat penangkap siaran tersebut sekedar merecoki masyarakat tanpa peduli resiko yang ditimbulkan. Orangtua sendiri yang sebenarnya harus mengasuh anak-anak. Alhasil, ketika era digital tiba, anak-anak dapat menyesuaikan diri dengan tantangan serta faedah informasi elektronik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kafilah

8

7

Wal-Mart.com USA, LLC
MagaZimple Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
nGikLan Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
OkeStore Theme
Wolpeper Theme
Hosting Unlimited Indonesia
Wal-Mart.com USA, LLC
Premium Wordpress Themes
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Lapax Theme
IndoStore Theme
Hosting Unlimited Indonesia
Bizniz Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC