Jumat, 30 Maret 2012

Menggeser Paradigma Hollywood


Menyongsong Hari Film Nasional 30 Maret 2012
Menggeser Paradigma Hollywood

Oleh Ayu Bella Fauziah

Peminat Perfilman

      Tiba-tiba kita kedatangan film silat made in Indonesia. Sinema bertajuk The Raid itu digarap ala Hollywood yang lugas dan bernas.
Laga dalam The Raid nyaris sebanding adu jotos yang diperagakan Jet Lee atau Chen Lung. Teknik pengambilan gambarnya cukup apik. Sebuah karya yang patut dibincangkan dalam obrolan sehari-hari.
      The Raid sesungguhnya juga mempertontonkan hegemoni Hollywood. Di bawah kolong langit ini, tiada sineas yang sanggup menandingi kepiawaian insan Hollywood. Film-film besutan Hollywood selalu segar serta enak ditelisik. Bioskop ramai dikerubuti karena orang menginginkan sinema Hollywood. Kuantitas dan kualitas film Hollywood sulit ditandingi.
      Kehadiran The Raid diharap memacu perfilman Nusantara. Insan perfilman nasional harus gigih berjuang membangun infrastruktur serta suprastruktur perfilman Indonesia. Sebab, hampir dua dekade, perfilman Indonesia terjerembab. Perfilman nasional buntung terus pantang untung.
      Ada dua aspek yang membuat perfilman nasional terkapar tanpa daya. Pertama, VCD/DVD bajakan film-film baru langsung beredar sebelum resmi diputar di bioskop. Kedua, serbuan televisi swasta dengan beragam program menarik.
      Dua elemen tersebut yang memaksa perfilman nasional takluk tak berkutik. Para aktor berikut aktris pun sontak terbirit-birit hijrah mencari nafkah di televisi swasta demi mengail secuil peran pada adegan sinetron.
      Di samping faktor VCD/DVD dan televisi swasta, yang mesti dicatat pula ialah visi insan film nasional. Awak sinema Indonesia tidak mungkin mengemas film sekelas Titanic, Termintor, Speed, serial James Bond maupun hikayat berseri penyihir Harry Potter. Film berdana murah semacam Sex, Lies and Videotape atau The Hand that Rock the Craddle saja, muskil diracik.
      Keterbelakangan sineas nasional dalam memproduksi film terjadi lantaran Indonesia cuma punya satu sekolah film. Hingga, susah menelurkan sineas berbakat yang banyak. Akibatnya, selain ketiadaan armada pekerja film yang jempolan, juga sinema Indonesia masih lemah dalam pola bertutur. Alhasil, kalimat-kalimat cerdas tak kuasa mengalir selancar arus sungai. Mekanisme itu lalu menggiring film terkesan gagap dalam bercerita.

Ekspresi Kehidupan
      Film-film Hollywood efektif mendulang sukses karena menekankan kualitas serta sisi komersial. Hatta, lahir tontonan box office internasional yang menghibur seperti The Godfather, Matrix atau Minority Report. Padahal, adegan klasik Hollywood hanya berkisar tembak-tembakan, ledak-ledakan, kebut-kebutan dan jotos-jotosan. Ramuan mereka mujarab membius berkat dipadu dengan teknologi computer generated image (CGI).
      Thailand termasuk sukses meningkatkan perfilmannya. Kebijakan progresif otoritas perfilman Negeri Gajah Putih tersebut ulet mengembangkan peluang bisnis. Dana produksi ditingkatkan demi membidik pasar global. Tidak heran jika pada periode 2001-2002, Thailand memproduksi lebih 450 judul film. Dalam kuantitas produksi, tentu India tak ada bandingnya. Maklum, mereka mampu menelurkan 700 film per tahun.
      Di Indonesia, film dengan kekuatan mutu serta bisnis adalah Tjoet Nyak’ Dhien. Film besutan Eros Djarot itu sempat diikutkan dalam seksi Semaine Internationale de la Critique Francais (Pekan Kritik) pada Festival Film Cannes.
Dewasa ini, Indonesia cuma bisa belajar tekun setapak demi sepetak dari film-film Tiongkok dan Taiwan yang memiliki pula banyak keunggulan.
      Hollywood dengan segala kedigdayaannya, rumit dijadikan barometer. Pasalnya, mereka punya dana, teknologi, kreativitas, penguasaan pasar dunia sembari rasa kesenian yang lebih panjang. Arkian, melihat judulnya saja, orang langsung kepincut.
      Film sebagai media kultural-edukatif serta alat berekspresi secara artistik, masih sukar diterapkan di Indonesia. Film-film ideal tetap terasa sebagai proyek mustahil. Kalau sekedar menghibur, awak sinema nasional telah melahirkan Eiffel…I’m in Love, Ada Apa Dengan Cinta dan Ayat-ayat Cinta. Tiga film tersebut begitu menggurat dalam benak kawula muda.
      Tiga tontonan itu tidak terjebak dalam konsep sempit yang menjual paha serta dada. Meski beberapa film Indonesia sempat merebut banyak penonton, namun, sindiran Prof. Soehardjo Sastro Suhardjo SH pantas direnungkan.
      “Perfilman nasional baru jadi tukang kebun di dalam tamannya sendiri. Belum menjadi tanaman yang sudah membuahkan”. Pernyataan itu diungkapkan di Gedung DPR-MPR pada 13 Februari 1984.
      Kegusaran Soehardjo terkait dengan aroma film Indonesia yang sarat buka-bukaan. Padahal, “gambar idoep” seyogianya berbasis nilai humanistik yang tinggi. Film bukan untuk memamerkan aurat atau adegan adu kelamin. Konstruksi tersebut menjabarkan bila adegan per adegan yang dilandasi skenario tak sepatutnya mengejar laba dengan cara menjual harga diri.
      “Film merupakan medium ekspresi kehidupan manusia”, tutur Shanty Harmayn, Direktur Jakarta International Film Festival 1999-2004.

Seni Local Wisdom
      Pemangku kebijakan wajib mendukung potensi perfilman untuk meraih prestasi global. Kebijakan progresif harus segera diracik demi menghidupkan perfilman Indonesia. Selama ini, sinema nasional masih sebatas hiburan tidak layak konsumsi. Akar persoalannya tiada lain keterbatasan dana, teknis dan isi. Di samping itu, pemerintah laik memperbaiki sarana serta prasarana untuk produksi film. Sebagai umpama yakni meringkas birokrasi pembuatan film. Kemudian mengedukasi pemilik bioskop bahwa bioskop merupakan lembaga komersial dan lembaga kebudayaan.
      Tak sepantasnya film yang menjadi institusi bisnis, wadah ideologi serta konstruksi kultural dipinggirkan begitu saja. Insan film dan masyarakat mesti bahu-membahu menyelamatkan perfilman nasional. Festival-festival film harus didukung oleh segenap elemen bangsa. Tanpa sokongan dari pelbagai pihak, niscaya perfilman nasional bakal terhempas dalam petaka di tengah pergerakan film global.
      “Bangsa ini memang tidak sadar budaya, bahkan cenderung sakit jiwa. Makanya tak aneh jika festival film sebesar Jiffest tidak didukung pemerintah”, ujar aktris senior Jajang C. Noer sebagaimana dimuat sebuah media nasional pada 4 Desember 2005.
      Hari Film Nasional 30 Maret 2012 ini, merupakan momen buat meraih kegemilangan serta kecemerlangan guna menyongsong fajar baru perfilman nasional. Apalagi, Indonesia memiliki sutradara muda yang kreatif. Mereka merupakan lokomotif yang diharap melahirkan komunitas kesenian film yang tangguh. Figur-figur gres tersebut diidamkan dapat memprovokasi arah film nasional sebagai sarana bagi pola pikir masyarakat. Hingga, warga Indonesia mencintai budayanya dengan mengangkat kesenian berbasis local wisdom.

(Fajar, Jumat, 30 Maret 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kafilah

8

7

Wal-Mart.com USA, LLC
MagaZimple Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
nGikLan Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
OkeStore Theme
Wolpeper Theme
Hosting Unlimited Indonesia
Wal-Mart.com USA, LLC
Premium Wordpress Themes
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Lapax Theme
IndoStore Theme
Hosting Unlimited Indonesia
Bizniz Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC