Koran
di Era Network
Blog
(Menyongsong
Hari Pers Dunia 3 Mei 2012)
Oleh
Ayu Bella Fauziah
Peminat
Kajian Media
Adakah
tandingan koran serta majalah? Kalau tanya ini diajukan 20 tahun
silam, pasti jawabnya “tidak”. Televisi pun sulit menandingi
media cetak. Sebab, tergolong media berat yang repot dibawa dan tak
leluasa dibuka-buka. Berbeda dengan koran yang enteng dibawa serta
lembarannya gampang dibuka sampai tuntas.
Sesudah dua
dekade, sontak segalanya berubah. Media cetak pun ketar-ketir.
Semua karena kehadiran Internet atau online tools. Informasi
dari A sampai Z tersedia secepat kedipan mata. Fakta dari alif
sampai ya bertabur gratis di Internet.
Keunggulan
Internet ialah kecepatan. Sementara kecepatan Internet ditunjang
tablet dan smartphone. Gadget ultra-mutakhir tersebut
punya keandalan komputasi serta konektivitas.
Informasi
dari Internet bukan hanya berbasis kecepatan. Keunggulan Internet
yaitu tampil apa adanya alias tanpa sensor. Video yang ditayangkan
televisi tentu diblur jika mengandung adegan mesum atau sadis.
Sedangkan di Internet bebas hambatan bak Lamborghini melesat anggun
di jalan tol.
Di Hari Pers
Internasional 2012 ini, kita menyaksikan informasi yang cepat dan
minus sensor. “Cepat serta tanpa sensor” merupakan jatidiri
informasi abad ke 21. Media cetak, radio dan televisi pasti sukar
menandingi Internet. Apalagi, media massa dikelilingi undang-undang
penyiaran. Tidak seluruh informasi layak dicerna oleh masyarakat.
Internet
yang berasas cepat serta minus sensor lalu melahirkan media sosial
atau social media (socmed). Hingga, terjadi pergeseran dalam
menikmati informasi dan modus interaksi. Media cetak, radio serta
televisi merupakan media vertikal. Apa yang dirilis langsung
diterima begitu saja tanpa perlawanan. Sementara socmed
seperti Facebook, Twitter dan Google+ bersifat
horizontal.
Pemilik akun
tak bisa seenaknya dibombardir dengan informasi serta interaksi.
Mereka punya perlawanan terhadap sederet kalimat yang menyelinap di
akunnya. Semua karena jejaring sosial bukan media satu arah (one
way). Socmed memiliki kekuatan sebagai wadah komunikasi dua arah
(two way).
Wikileaks
Adakah
tandingan surat kabar dan majalah? Jawabannya sungguh ironis serta
tragis. Pasalnya, lawan tangguh koran dan majalah adalah blog.
Ironis karena blog merupakan media yang nyaris tanpa modal. Kemudian
tragis bagi media-media bonafid lantaran blog meluber di mesin
pencari (search engine). Blog yang dikelola satu orang dapat
berimbang dengan media profesional di mesin pencari. Ibarat kata,
Goliath versus David. Godzilla lawan cecak atau raksasa yang
terlibat duel maut dengan kurcaci.
Rata-rata
blog dikelola oleh satu orang. Mayoritas tidak punya latar belakang
di dunia tulis-menulis. Mereka tanpa hambatan memproduksi informasi
di blog dengan memanfaatkan Internet.
Prof Clay
Shirky dari New York University bersabda bahwa seseorang tak perlu
mencari media terpercaya untuk merilis berita. Maklum, tersedia
dunia maya sebagai alternatif yang lebih mudah dengan skala efek
luas.
Ini telah
dibuktikan oleh Julian Assange dengan Wikileaks. Fenomena
Wikileaks mencerminkan bila terjadi erosi pada otoritas media
mainstream (arus utama).
Dewasa ini,
dengan berbekal handphone, iPhone atau memakai jasa situs
sosial semacam Facebook, Twitter serta Google+, segenap
warga dunia bisa menabalkan diri sebagai reporter. Mereka dinamakan
“citizen journalist” alias wartawan awam.
Jan
Schaffer, ketua laboratorium jurnalis dari American University
berargumentasi bahwa citizen journalist memang menggunakan
sumber berita yang berbeda dengan wartawan profesional. Meski
demikian, tidak berarti informasi mereka tidak memiliki nilai
jurnalis.
Jim Gaines,
mantan bos majalah Time berteori kalau aspek citizen
journalist meruyak berkat teknologi digital. Di sisi lain,
pelaku industri media cetak tidak kuasa mendayagunakan secara
maksimal dunia cyber.
Persaingan
makin keras bagi media cetak jika para blogger membentuk komunitas
dalam merilis informasi. Ekspresi dominan secara terpadu para
blogger kala menebar informasi di web memungkinkan kecepatan
penemuan. Inilah yang saya namakan Era Network Blog (Zaman
Jejaring Blog).
Era
Network Blog merupakan suatu periode yang merangsang masyarakat
untuk berpartisipasi dalam mengeksplorasi dan mengekspos informasi.
Mereka menyiarkan warta walau bukan ahli di bidang jurnalistik. Para
blogger membangun kecerdasan manusia dengan mengekstraksikan deretan
aksara bermakna.
Kafilah
blogger enteng mendesain situs karena blog bersifat instan, personal
serta interaktif. Unsur interaktif memantik interaksi dengan blogger
lain. Ini pertanda positif. Sebab, menjadi wadah untuk menuju pada
informasi yang lebih banyak. Mereka juga gampang menghubungkan
tautan ke situs lain maupun bertukar tautan. Alhasil, blog kian
ramai oleh pengunjung. Apalagi, banyak blog yang tampil elegan
dengan grafik dan foto.
Era
Network Blog menandaskan kolaborasi sesama blogger. Mereka kuat
secara kolektif demi meningkatkan keragaman kognitif. Hatta,
eksistensi blogger ikut meningkatkan kualitas manusia.
Beyond
FAJAR
Manusia
termasuk pelahap berita. Mustahil orang dapat hidup nyaman tanpa
berita. Sebagai konsumen berita, manusia hilir-mudik mencari serta
menyimak kabar. Insan planet biru tiap hari mendambakan warta
terkini yang memuat verifikasi sekaligus bertanggung jawab.
Di negeri
Bang Obama, tertera bila cuma segelintir yang doyan baca surat kabar.
Mereka lebih senang dengan news online. Arkian, tak aneh
kalau The Washington Post memutuskan mengurangi anggaran
sampai 40 persen.
Survei Pew
Research Center menemukan kebiasaan konsumsi berita warga Amrik.
Penikmat news online rupanya lebih berwawasan luas ketimbang
pembaca media tradisional seperti koran dan televisi.
Sebagai
jemaah Fajariyah (pembaca FAJAR), saya melihat bahwa
tantangan harian ini bukan hanya media sosial, teknologi serta
pengetatan dana di tengah pusaran problem ekonomi dan keuangan
global. Tantangan FAJAR yakni bagaimana membenahi seluruh
instrumen di sektor media cetak serta edisi digital. FAJAR
tidak sekedar dituntut berkutat untuk mengembangkan jurnalisme bebas,
mandiri dan bertanggung jawab. Surat kabar ini harus pula mengubah
desain atau lay out (perwajahan) agar berorientasi pasar.
Zaman digital menuntut segalanya serba segar sarat warna-warni.
“Good design is good business”, begitu fatwa Thomas Watson
Jr, eks CEO IBM.
FAJAR
seyogianya tampil warna tiap halaman dengan aneka font huruf.
Hingga, enak disimak serta elok dipandang. Memasuki era digital,
koran diharap tampil atraktif. Sebelum milenium ketiga, media yang
bertabur warna-warni dianggap surat kabar kuning. Isinya cuma
sensasi seputar selebriti. Koran kuning identik gosip. Sebagai daya
tarik, pengelola media bersangkutan memperkaya beritanya dengan
alfabet berwarna provokatif. Di periode ini, selera berubah. Media
yang kurang mengoptimalkan cita rasa warna dinilai miskin dan tak
serius.
Para
wartawan serta redaktur mutlak bersatu untuk back to work.
Dituntut inovasi tinggi guna melahirkan the real FAJAR.
Sebuah harian yang betul-betul media. Suatu media yang benar-benar
menyentuh kehidupan di Era Network Blog. Bukan sekedar FAJAR,
beyond FAJAR.
(Fajar, 3 Mei 2012)
(Fajar, 3 Mei 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar