Ramadan
Sebagai Bulan al-Qur'an
Oleh
Ayu Bella Fauziah
Pemerhati
Agama
Perputaran
waktu terasa cepat. Kini, kita kembali menjalani hari-hari Ramadan.
Bulan suci identik dengan puasa. Salat tarawih juga menjadi ciri
khas Ramadan. Sesungguhnya, Ramadan tidak terpisah pula dengan
al-Qur'an.
Puasa
begitu afdal bila dihias pembacaan al-Qur'an. Secara teori, puasa
melemahkan raga. Sebab, puasa berarti menahan lapar sekaligus haus.
Akibatnya, orang repot beraktivitas. Selain itu, membaca saat puasa
membuat perut terasa nyeri.
Teori
tersebut rupanya terpatahkan bagi kalangan Mukmin. Puasa tak
mengusik pekerjaan sehari-hari. Lapar serta dahaga tidak dikenal
oleh hamba sejati Allah. Aspek itu berkat niat tulus demi
menjalankan ibadah puasa.
Sebelum
menikmati sahur pertama, maka, niat dipanjatkan. Doa diutarakan agar
diberi kekuatan untuk berpuasa selama sebulan. Inilah yang menjadi
energi bagi para hamba Allah. Mereka berpuasa, tetapi, tubuhnya tak
lemah.
Di
hari biasa, individu yang membaca pasti cepat lemas dan lapar.
Penikmat dunia literatur butuh energi buat menelisik kumpulan aksara.
Makanan menjaga keseimbangan tatkala mengkaji aneka informasi
berwujud kata-kata. Tanpa mengunyah makanan, niscaya orang rumit
mencerna teks-teks yang terhampar. Ihwal tersebut jelas lebih parah
jika berpuasa. Perut pasti keroncongan minta diisi.
Fase
itu ternyata tidak berlaku bagi Muslim sejati. Ramadan bukan hanya
puasa, tetapi, diisi dengan pembacaan al-Qur'an. Mengaji tak semata
mengharap berkah Allah. Pasalnya, membaca al-Qur'an justru
menguatkan fisik. Makin berjubel ayat yang ditelisik, kiranya kian
menyegarkan badan. Dengan demikian, Ramadan memang rahmat (kasih
sayang) Allah bagi umat Islam.
Siapa
saja yang mendambakan gairah hidup dan pola hidup sehat wajib
bersuka-cita menyambut Ramadan. Lubuk hati mutlak menanamkan
komitmen yang konsisten terhadap bulan suci. Maklum, Ramadan
merupakan hari-hari puasa serta mengaji. Kolaborasi antara puasa
dengan membaca al-Qur'an akan menghasilkan insan takwa. Alhasil,
Ramadan laksana kotak harta karun yang mendatangkan berkah. “Puasa
lebih baik bagimu andai kamu tahu!” (al-Baqarah:
184).
Umat
Pertengahan
Pasca-Kiamat, semua
orang dihimpun di Padang Mahsyar. Di momen tersebut sudah ketahuan
identitas tiap individu. Mereka yang beruntung pasti berparas
berseri-seri. Sementara pecundang bergelimang dosa terlihat berwajah
muram, pekat dan gosong.
Segenap
manusia lantas digiring menuju Shirathal
Mustaqim,
titian serambut dibelah tujuh. Ada yang lewat secepat kilat. Ada
seperti kecepatan kuda sembrani. Ada yang berjalan perlahan. Ada
malahan yang merangkak tertatih-tatih. Mayoritas pelintas jatuh ke
jurang neraka.
Orang-orang
yang selamat lalu dikumpulkan lagi di sebuah kawasan. Pengikut Nabi
Muhammad ditempatkan di barisan terdepan. Sedangkan umat lain antre
di belakang. Mereka menunggu giliran di Surga mana hendak
ditempatkan.
Slogan
yang acap didengar ialah kaum Muslim merupakan “umat pertengahan”.
Dinamakan demikian karena Islam tercantum sebagai agama terakhir.
Biarpun begitu, umat Islam justru yang pertama masuk Surga. Arkian,
dianggap berada di tengah alias “umat pertengahan”.
Tiap
pengikut Rasulullah yang bakal menuju Surga dikawal rombongan
malaikat. Mereka kemudian naik ke sebuah wahana. Malaikat lantas
menyuruh hamba bersangkutan membaca ayat Alquran yang pernah
dihafalnya di dunia.
Ketika
melantunkan ayat al-Qur'an, maka, wahana tempat ia berpijak segera
melesat ke atas. Mereka naik menuju ke Surga. Wahana itu berhenti
kalau orang yang mengaji kehabisan hafalan.
Bila
ia cuma hafal satu ayat, berarti ia penghuni surga terbawah.
Sementara jika ia hafal seluruh al-Qur'an, maka, ia berada di Surga
tertinggi alias Taman Firdaus.
Abdullah
bin Amru bin Ash meriwayatkan sabda sang Maha Rasul. “Diinstruksikan
kepada Ahli-Qur’an:
Baca dengan lantang seraya berirama sebagaimana kamu membacanya di
dunia. Sebab, kedudukanmu berada di akhir ayat yang kau baca”.
Surga
Firdaus menjadi impian insan takwa. Di atas Taman Firdaus terletak
Arasy. Para nabi bersama rasul tidak ditempatkan di al-Firdaus.
Kediaman mereka terhampar di sekeliling Arasy. Surga Firdaus
merupakan anugerah terbesar bagi penghafal berikut pengamal
al-Qur'an.
Orang
yang pernah satu kali membaca Ayat
Kursi
diperkenankan pula sekali menatap Wajah Allah. Shahibul
Qur’an
(kalangan pencinta Alquran) tentu tak terbilang lagi bacaan Ayat
Kursi
yang pernah didengungkan. Hatta, ia leluasa berkali-kali melihat
Allah.
Sebagaimana
dimaklumi bahwa memandang Wajah Allah merupakan puncak kenikmatan di
Surga. Menatap Allah merupakan karunia terbesar di seantero Surga.
Para
nabi dan rasul kelak terharu bahagia melihat pahala penghafal
al-Qur'an. Jemaah malaikat pun takjub. Soalnya, penghafal al-Qur'an
sambung-menyambung memandang Allah. Bahkan, mereka dinikahkan dengan
73 bidadari paling jelita yang bermata jeli. Ia juga memperoleh area
seluas klaster (himpunan galaksi) yang komplet dengan rupa-rupa
istana bertabur permata. Mereka dikaruniai pula sepetak kebun anggur
serta kurma yang luasnya bak galaksi.
Jasad
Lestari
Al-Qur'an
yang kita miliki di rumah tidak punya makna kalau hanya dipajang di
bufet ruang tamu. Al-Qur'an bukan hiasan, tetapi, bacaan. Al-Qur'an
tak berharga bila tidak dibaca dan diamalkan.
Ramadan
merupakan momentum buat berinteraksi dengan al-Qur'an. Mengaji
berarti merenungkan kebesaran Allah. Alhasil, para pembacanya
berkesempatan membersihkan diri. Pribadi yang lalim menjadi alim.
Sifat biadab menjelma beradab. Watak penodong berubah penolong.
Ibarat kata, karakter manusia berubah dari buaya menjadi buya.
Selama
Ramadan kita berpeluang menjadi komunitas pilihan pewaris Taman
Firdaus. Di samping itu, memiliki kesempatan menatap Wajah Allah
secara berkelanjutan tanpa jeda.
Banyak
yang melecehkan al-Qur'an sebagai buku biasa. Mereka malahan
menuding al-Qur'an belum final sebagai hukum yang diwahyukan.
Apalagi, al-Qur'an cuma tersusun menjadi kitab di era Khalifah Umar
bin Khattab.
Orang
boleh saja menyerang al-Qur'an, namun, sampai detik ini belum ada
bacaan setara al-Qur'an. Manusia bersama jin ditantang membuat satu
ayat saja yang serupa al-Qur'an. Sampai pada Ramadan 1433 Hijriah
(Agustus 2012) ini, tiada satu pihak yang mau meladeni tantangan
al-Qur'an.
Banyak
yang tergoda mengolok-olok al-Qur'an. Padahal, tak sedikit
keajaibannya yang dapat disaksikan mata kepala. Sebagai contoh, KH
Abdullah Mukmin. Di masa hidupnya ia belajar sambil mengajarkan
al-Qur'an. Saat wafat, ia dimakamkan di depan Musalah an-Najat pada
1983. Pada 5 Agustus 2009, kuburnya hendak dipindah lantaran terkena
pelebaran jalan.
Kala
makam digali, khalayak terperanjat. Mayat sang kyai tetap utuh.
Kain kafan maupun papan tidak rusak kendati terendam lumpur. Bahkan,
aroma wangi tercium. Pikiran berasas nalar sederajat Einstein pun
pasti mustahil menerima fenomena adikodrati di era Google+
ini.
Bukan
sekali ini jasad insan yang bergaul dengan al-Qur'an tetap utuh.
Bukan cuma KH Abdullah Mukmin yang menjadi keajaiban perihal
interaksi manusia dengan al-Qur'an. Beribu riwayat keunggulan
al-Qur'an telah terkisahkan, tetapi, tetap muncul pengejek al-Qur'an.
Gerombolan tersebut tiada lain kalangan munafik yang tak sudi
mengklaim kebenaran firman-firman Allah. Mereka mendiskreditkan
al-Qur'an gara-gara mata hatinya diluputi kegelapan.
“Mereka
tuli, bisu serta buta. Akibatnya, tidak bisa kembali ke jalan
kebenaran” (al-Baqarah:
18).
(Cakrawala,
Selasa 14 Agustus 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar