Jumat, 14 September 2012

Ekonomi Hijau (Green Economy vs Greed Economy)









Green Economy vs Greed Economy
Oleh Ayu Bella Fauziah
Pemerhati Ekonomi

Greed is good”, kata Gordon Gekko (Michael Douglas) dalam Wall Street (1987). Greed is good merupakan lambang serta jiwa kapitalisme yang sangat liberal. Rakus jelas selaras dengan nafsu manusia yang tidak pernah puas. Apalagi, money never sleep sebagaimana tajuk sekuel kedua film Wall Street (2010).
Greed alias serakah merupakan skema ekonomi kapitalisme. Hasilnya teramat fantastis. Para pebisnis berkantor di gedung penonjok langit. Rumah mereka bak puri kencana. Sementara kendaraan mewah berjejer di garasinya. Jas yang dikenakan setara biaya kuliah selama dua tahun di universitas terkemuka. Arloji di tangannya seharga apartemen. Sifat tamak menampilkan pribadi elegan.
Di balik figur para pebisnis yang tampil mempesona, ada ongkos mahal yang diderita satu miliar manusia. Mereka kelaparan tiap hari. Ekonomi kapitalis dengan roh greed is good sesungguhnya menyengsarakan 1, 3 miliar penduduk bumi. Mereka hidup fakir dengan penghasilan kurang dari 1,25 dollar AS per hari.
Pelakon bisnis kapitalis juga merupakan terdakwa yang merusak planet ini. Biarpun sejeli cheetah memelototi angka-angka pasar modal. Mereka ternyata tidak memiliki pertimbangan perihal batas kapasitas lingkungan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. Greed is good memaksa mereka mengeksploitasi sumber daya alam secara simultan. Akibatnya, rimba-raya seluas enam juta hektar lenyap saban tahun. Sekitar 30 persen keanekaragaman hayati turut punah dalam waktu 40 tahun.
Rakus tanpa pertimbangan daya dukung alam sempat diungkap oleh David Brower. Pebisnis mashur dari Amerika Serikat itu bersabda: “There is no business to be done on a dead planet”.
Sebuah diktum mengenai ekologi digemakan pula suku Indian: “Jika pohon terakhir telah ditebang. Ikan terakhir sudah ditangkap. Sungai terakhir mengering. Manusia akhirnya sadar. Uang rupanya tidak bisa dimakan”.

Paradigma Primadona
Kerangka ekonomi konvensional yang selama ini dijalankan, diamini gagal. Mesinnya mogok sekaligus memacetkan kehidupan manusia. Kesejahteraan yang diidamkan malahan berbuah krisis ekonomi.
Sayup-sayup terdengar pertobatan segelintir pelaku ekonomi. Mereka mulai melirik skema ekonomi hijau (green economy). Paradigma tersebut menjadi primadona seronok. Sebab, diklaim sebagai mesin perekonomian yang tak merugikan lingkungan hidup.
Ekonomi hijau dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial. Bahkan, mengurangi resiko lingkungan secara signifikan. Ekonomi hijau juga diyakini mengurangi stres bumi. Maklum, rendah karbon lantaran tidak menghasilkan emisi serta polusi lingkungan. Di samping itu, dipercaya hemat sumber daya alam.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa atau United Nations Environment Programme (UNEP), mendefisisikan ekonomi hijau sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Ihwal tersebut berkat ekonomi hijau tak mengandalkan bahan bakar fosil. Rumusnya justru pemakaian sumber daya yang efisien dan berkeadilan sosial.
Konsep ekonomi hijau melengkapi elemen pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip ekonomi berkelanjutan yakni memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.

Konflik Habitat
Tekad Indonesia untuk beralih ke ekonomi hijau secara tegas disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala KTT Rio+20 pada 20-22 Juni 2012. Indonesia berhasrat besar merintis jalur pembangunan rendah karbon. Indonesia berniat beralih ke sumber energi terbarukan.
Kata-kata indah demi menapak ekonomi hijau seyogianya diimbangi pembenahan struktur. Kalau menilik kondisi Indonesia, pasti kerja keras mutlak digaungkan secara bertalu-talu di segenap lini. Apalagi, Indonesia tergolong empat negara perusak hutan rangking tertinggi. Universitas Adelaide, Australia, melaporkan bahwa Indonesia, Amerika Serikat, Brasil berikut Cina merupakan kontributor terbesar kerusakan lingkungan.
Ekonomi hijau yang diharap membumi di Nusantara dapat sirna bila tidak ada tindakan tegas pemerintah. Sebagai umpama, konflik antara rakyat dengan sumber daya mineral kerap menimpa Indonesia. Perseteruan ini mengakibatkan keanekaragaman hayati musnah.
Orangutan, gajah maupun harimau ikut mati gara-gara konflik habitat antara warga setempat dengan perusahaan sawit atau industri kayu. Konflik agraria memaksa penduduk asli tergusur oleh konsesi tambang atau hak pengelolaan hutan. Tatkala rakyat terkalahkan, maka, terjadi pula pencemaran limbah ke alam.

Instrumen Prima
Indonesia tetap berpeluang menjalankan ekonomi hijau. Jika KTT Rio+20 mengikat secara permanen, berarti dunia permai serta sejahtera bakal tercapai. Pola utama ekonomi hijau ialah merehabilitasi kerusakan lingkungan. Makin cepat lebih baik.
Ekonom Inggris Sir Nicholas Stern berteori bahwa diperlukan uang satu persen dari produk domestik bruto buat memperbaiki kerusakan lingkungan. Kalau ditunda, niscaya membengkak 20 persen dari produk domestik bruto secara global.
Lingkungan sehat tak cuma berdampak pada kesehatan manusia. Ekonomi pun segar-bugar bila bumi tidak sakit-sakitan. Pengurangan emisi sanggup menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Lingkungan sehat meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
Tersua fakta bahwa emisi di kawasan Eropa dan Asia Tengah mengalami penurunan 28 persen pada periode 1990-2008. Pada kurun itu, produk domestik bruto Eropa serta Asia Tengah menanjak 22 persen. Semua terjadi berkat perubahan harga energi. Harga tinggi mendorong penghematan energi.
Efisiensi penggunaan sumber daya alam berdampak pada kesehatan bumi. Langkah terbaik demi menyongsong ekonomi hijau yaitu merehabilitasi rimba sembari membangun hutan kota.
Prestasi walikota atau bupati bukan semata dinilai dari kesuksesan mendesain daerahnya sebagai pusat bisnis. Di era ekonomi hijau, pusat bisnis layak dipadu dengan hutan kota. Gedung ultra modern berderet kanan-kiri. Sedangkan di tengah kota terhampar rimba sebagai wujud pelestarian lingkungan hidup.
Selama ini, kemajuan ekonomi identik dengan kerusakan lingkungan. Soalnya, meningkatkan konsumsi energi. Akibatnya, meruyak karbon, polusi udara, pencemaran air dan efek rumah kaca. Pemanasan global pun menyergap bumi. Di sisi lain, rakyat terkapar oleh kondisi kemiskinan. Mereka terhempas dari wilayahnya dalam keadaan sengsara. Pasalnya, pemerintah menutup mata terhadap sepak-terjang korporasi yang mengantongi izin pengelolaan hutan.
Berpihak kepada rakyat merupakan instrumen prima ekonomi hijau. Saat rakyat ditelantarkan. Digusur dari daerahnya atas nama pembangunan. Ini bermakna penyelenggara negara tak mempraktekkan green economy, tetapi, greed economy.

(Cakrawala, Jumat, 14 September 2012)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kafilah

8

7

Wal-Mart.com USA, LLC
MagaZimple Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
nGikLan Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
OkeStore Theme
Wolpeper Theme
Hosting Unlimited Indonesia
Wal-Mart.com USA, LLC
Premium Wordpress Themes
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Lapax Theme
IndoStore Theme
Hosting Unlimited Indonesia
Bizniz Theme
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC