Green
Economy vs Greed Economy
Oleh Ayu
Bella Fauziah
Pemerhati
Ekonomi
“Greed
is good”, kata Gordon Gekko
(Michael Douglas) dalam Wall Street
(1987). Greed is good
merupakan lambang serta jiwa kapitalisme yang sangat liberal. Rakus
jelas selaras dengan nafsu manusia yang tidak pernah puas. Apalagi,
money never sleep
sebagaimana tajuk sekuel kedua film Wall
Street (2010).
Greed
alias serakah merupakan skema ekonomi kapitalisme. Hasilnya teramat
fantastis. Para pebisnis berkantor di gedung penonjok langit. Rumah
mereka bak puri kencana. Sementara kendaraan mewah berjejer di
garasinya. Jas yang dikenakan setara biaya kuliah selama dua tahun
di universitas terkemuka. Arloji di tangannya seharga apartemen.
Sifat tamak menampilkan pribadi elegan.
Di balik
figur para pebisnis yang tampil mempesona, ada ongkos mahal yang
diderita satu miliar manusia. Mereka kelaparan tiap hari. Ekonomi
kapitalis dengan roh greed is good
sesungguhnya menyengsarakan 1, 3 miliar penduduk bumi. Mereka hidup
fakir dengan penghasilan kurang dari 1,25 dollar AS per hari.
Pelakon
bisnis kapitalis juga merupakan terdakwa yang merusak planet ini.
Biarpun sejeli cheetah
memelototi angka-angka pasar modal. Mereka ternyata tidak memiliki
pertimbangan perihal batas kapasitas lingkungan dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi. Greed is good
memaksa mereka mengeksploitasi sumber daya alam secara simultan.
Akibatnya, rimba-raya seluas enam juta hektar lenyap saban tahun.
Sekitar 30 persen keanekaragaman hayati turut punah dalam waktu 40
tahun.
Rakus tanpa
pertimbangan daya dukung alam sempat diungkap oleh David Brower.
Pebisnis mashur dari Amerika Serikat itu bersabda: “There
is no business to be done on a dead planet”.
Sebuah
diktum mengenai ekologi digemakan pula suku Indian: “Jika pohon
terakhir telah ditebang. Ikan terakhir sudah ditangkap. Sungai
terakhir mengering. Manusia akhirnya sadar. Uang rupanya tidak bisa
dimakan”.
Paradigma
Primadona
Kerangka
ekonomi konvensional yang selama ini dijalankan, diamini gagal.
Mesinnya mogok sekaligus memacetkan kehidupan manusia. Kesejahteraan
yang diidamkan malahan berbuah krisis ekonomi.
Sayup-sayup
terdengar pertobatan segelintir pelaku ekonomi. Mereka mulai melirik
skema ekonomi hijau (green economy).
Paradigma tersebut menjadi primadona seronok. Sebab, diklaim
sebagai mesin perekonomian yang tak merugikan lingkungan hidup.
Ekonomi
hijau dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan
kesetaraan sosial. Bahkan, mengurangi resiko lingkungan secara
signifikan. Ekonomi hijau juga diyakini mengurangi stres bumi.
Maklum, rendah karbon lantaran tidak menghasilkan emisi serta polusi
lingkungan. Di samping itu, dipercaya hemat sumber daya alam.
Program
Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa atau United
Nations Environment Programme
(UNEP), mendefisisikan ekonomi hijau sebagai bagian dari pertumbuhan
ekonomi rendah karbon. Ihwal tersebut berkat ekonomi hijau tak
mengandalkan bahan bakar fosil. Rumusnya justru pemakaian sumber
daya yang efisien dan berkeadilan sosial.
Konsep
ekonomi hijau melengkapi elemen pembangunan berkelanjutan
(sustainable development).
Prinsip ekonomi berkelanjutan yakni memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
Konflik
Habitat
Tekad
Indonesia untuk beralih ke ekonomi hijau secara tegas disampaikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala KTT Rio+20 pada 20-22 Juni
2012. Indonesia berhasrat besar merintis jalur pembangunan rendah
karbon. Indonesia berniat beralih ke sumber energi terbarukan.
Kata-kata
indah demi menapak ekonomi hijau seyogianya diimbangi pembenahan
struktur. Kalau menilik kondisi Indonesia, pasti kerja keras mutlak
digaungkan secara bertalu-talu di segenap lini. Apalagi, Indonesia
tergolong empat negara perusak hutan rangking tertinggi. Universitas
Adelaide, Australia, melaporkan bahwa Indonesia, Amerika Serikat,
Brasil berikut Cina merupakan kontributor terbesar kerusakan
lingkungan.
Ekonomi
hijau yang diharap membumi di Nusantara dapat sirna bila tidak ada
tindakan tegas pemerintah. Sebagai umpama, konflik antara rakyat
dengan sumber daya mineral kerap menimpa Indonesia. Perseteruan ini
mengakibatkan keanekaragaman hayati musnah.
Orangutan,
gajah maupun harimau ikut mati gara-gara konflik habitat antara warga
setempat dengan perusahaan sawit atau industri kayu. Konflik agraria
memaksa penduduk asli tergusur oleh konsesi tambang atau hak
pengelolaan hutan. Tatkala rakyat terkalahkan, maka, terjadi pula
pencemaran limbah ke alam.
Instrumen
Prima
Indonesia
tetap berpeluang menjalankan ekonomi hijau. Jika KTT Rio+20 mengikat
secara permanen, berarti dunia permai serta sejahtera bakal tercapai.
Pola utama ekonomi hijau ialah merehabilitasi kerusakan lingkungan.
Makin cepat lebih baik.
Ekonom
Inggris Sir Nicholas Stern berteori bahwa diperlukan uang satu persen
dari produk domestik bruto buat memperbaiki kerusakan lingkungan.
Kalau ditunda, niscaya membengkak 20 persen dari produk domestik
bruto secara global.
Lingkungan
sehat tak cuma berdampak pada kesehatan manusia. Ekonomi pun
segar-bugar bila bumi tidak sakit-sakitan. Pengurangan emisi sanggup
menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Lingkungan sehat meningkatkan
kesejahteraan ekonomi.
Tersua fakta
bahwa emisi di kawasan Eropa dan Asia Tengah mengalami penurunan 28
persen pada periode 1990-2008. Pada kurun itu, produk domestik bruto
Eropa serta Asia Tengah menanjak 22 persen. Semua terjadi berkat
perubahan harga energi. Harga tinggi mendorong penghematan energi.
Efisiensi
penggunaan sumber daya alam berdampak pada kesehatan bumi. Langkah
terbaik demi menyongsong ekonomi hijau yaitu merehabilitasi rimba
sembari membangun hutan kota.
Prestasi
walikota atau bupati bukan semata dinilai dari kesuksesan mendesain
daerahnya sebagai pusat bisnis. Di era ekonomi hijau, pusat bisnis
layak dipadu dengan hutan kota. Gedung ultra modern berderet
kanan-kiri. Sedangkan di tengah kota terhampar rimba sebagai wujud
pelestarian lingkungan hidup.
Selama ini,
kemajuan ekonomi identik dengan kerusakan lingkungan. Soalnya,
meningkatkan konsumsi energi. Akibatnya, meruyak karbon, polusi
udara, pencemaran air dan efek rumah kaca. Pemanasan global pun
menyergap bumi. Di sisi lain, rakyat terkapar oleh kondisi
kemiskinan. Mereka terhempas dari wilayahnya dalam keadaan sengsara.
Pasalnya, pemerintah menutup mata terhadap sepak-terjang korporasi
yang mengantongi izin pengelolaan hutan.
Berpihak
kepada rakyat merupakan instrumen prima ekonomi hijau. Saat rakyat
ditelantarkan. Digusur dari daerahnya atas nama pembangunan. Ini
bermakna penyelenggara negara tak mempraktekkan green
economy, tetapi, greed
economy.
(Cakrawala,
Jumat, 14 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar